Langsung ke konten utama

Kala Hobi Bertani tak Hanya jadi Pengisi Hari


Didik melakukan aktivitas menanam (Foto: Rieka Yusuf)

Tanaman anggur milik Didik di kerangka besi yang menyerupai gapura di halaman rumah (Foto: Rieka Yusuf)

Hal yang berawal dari kegemaran tak selalu berbicara tentang kepuasan pribadi. Perihal menjadi hobi, nyatanya bertani jadi kegiatan sambilan yang juga memunculkan kebermanfaatan sosial. Baik dengan berbagi maupun saling memengaruhi, bertani di rumah bisa jadi sarana memperoleh eksistensi.


Rumah tanpa pagar di lingkungan perumahan itu terlihat menonjol dengan warna hijau. Di sisi kiri, pohon buah-buahan seperti mangga, rambutan, dan kelengkeng yang masih 1,5 meter tingginya berjejer sederet dengan aglonema. Di sisi kanan, tanaman ubi jalar tumbuh memenuhi lahan tanpa menutupi jendela kamar yang rendah. 

Bagian utamanya adalah sisi depan. Tanaman anggur yang merambat dibuat menyerupai gapura seolah menunjukkan gerbang utama untuk masuk ke ruangan. Masih di bagian luar, menyisakan jalan selebar 0,75 meter dengan panjang 2,5 meter, di kanan-kirinya penuh tanaman seperti lidah buaya, daun mint, seledri, sawi, tomat, dan cabai.

Di rumah seluas 45 meter persegi inilah, Didik Ikhsan Ferdianto memanfaatkan lahan sisa sebagai arena bermainnya dengan tanaman. Kegemaran menanam yang dimilikinya sejak SMP masih ia geluti bahkan ketika memutuskan merantau untuk berkuliah di Yogyakarta. “Di Jambi, ibu menanam bunga-bungaan, khas ibu-ibu gitu. Terus, aku yang suka makan buah ini malah jadi penasaran, gimana, sih, proses sampai tanaman itu bisa tumbuh bahkan menghasilkan buah,” ceritanya.

Berbeda dengan Didik yang gemar bertani sejak SMP, seorang wanita asal Depok bernama Mega Utari mulai menemukan kegemaran menanam sejak pandemi Covid-19. Waktu luang yang harus dihabiskan di rumah, membuat wanita berusia 21 tahun ini mencari berbagai kegiatan produktif dengan kreatif.

Juli lalu, akhirnya keinginan untuk membeli alat dan bahan untuk bertani pun muncul. “Aku beli polybag, pupuk, dan bibit-bibit sayuran seperti sawi sendok, kangkung, dan terong. Kalau cabai dan tomat, sisa-sisa masak aku tabur aja di tanah,” tutur Mega. Belanja perlengkapan bertani melalui daring, diakuinya tidak sampai menghabiskan Rp100.000, “Ini murah banget.

Bertani saat Pandemi

Selama pandemi, kegiatan bertani di rumah menjadi sebuah tren. Tak hanya mengisi waktu luang, alasan kesehatan, kemandirian pangan, dan menghias rumah pun menjadi pertimbangan. Tren ini turut dibuktikan dengan berbagai kata kunci pencarian bertani di Google yang mencapai puncaknya di 2020 pada pertengahan Juni. Di saat yang sama, Indonesia tengah mencatat jumlah kasus tertinggi infeksi virus corona di ASEAN dengan 41.431 kasus positif (17/6).

Jumlah pencarian kata kunci berkaitan dengan bertani dari Google Trends (Infografis: Rieka Yusuf)

Menurut Dr. Ir. Oktavia S. Padmini, M. Si. Yang merupakan dosen fakultas pertanian, hobi bertani kala pandemi adalah hal yang sangat positif. Istilah urban farming dipilihnya untuk mewakili aktivitas bertani di lahan yang tidak luas, seperti di rumah. “Aktivitas bertani saat pandemi tidak hanya memuaskan diri dengan melihat yang hijau, tetapi juga menjadi alasan agar tubuh bergerak, terkena sinar matahari, juga berkeringat, sehingga sangat baik untuk kesehatan,” paparnya.

Urban Farming kala pandemi, tak hanya dilakukan oleh masyarakat biasa. Baik tokoh publik seperti artis hingga mantan pejabat pun mulai bertani untuk mengisi waktu luang saat pandemi. Sebut saja Ignasius Jonan, mantan Dirut PT KAI sekaligus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia (2016-2019), yang gemar menanam sayuran secara hidroponik. Selain Jonan, tokoh publik seperti Giring Ganesha dan Dewi Sandra juga mempublikasikan aktivitas bertani saat pandemi-nya di media sosial. Di kalangan akademisi, I Made Andi Arsana seorang dosen teknik Geodesi UGM yang aktif bermedia sosial juga tengah menggemari budidaya ikan dan menanam sayuran menggunakan akuaponik.

Aktivitas urban farming memang tidak memerlukan lahan yang luas. Padmini mencontohkan dalam teknis penanaman bisa dilakukan menggunakan media tanah dan nontanah atau yang biasa dikenal dengan istilah hidroponik. Penggunaan campuran media tanah, sekam, dengan pupuk organik di dalam pot atau polybag dinilainya menjadi yang paling umum dilakukan, “Perbandingan antara tanah, sekam, dan pupuk itu bisa 1:1:1. Tapi komposisi ini biasanya orang langsung beli jadi.” Sedangkan hidroponik lebih beragam media yang digunakan, bisa dengan air, pakis, pasir, hingga cocopeat (limbah serabut kelapa).

Tomat yang ditanam oleh Mega selama pandemi (Foto: Mega Utari)

Di rumahnya, Mega menanam cabai, terong, dan tomat menggunakan media tanah. Sedangkan kangkung dan sawi ditanamnya menggunakan sekam. Benih kangkung atau sawi sebelum ditanam biasanya akan direndam selama enam jam. Setelah perendaman, benih yang berada di dasar air dikeringkan untuk kemudian ditanam di polybag berisi sekam. Dalam satu hari, bibit pun akan tumbuh. “Kalau panen kangkung biasanya sekitar 15 hari, pas sudah agak tinggi tapi masih muda. Ini biar pas dimasaknya masih enak,” ujarnya saat dihubungi via pesan langsung Instagram. Mega mengaku, hasil panennya ini berpengaruh pada berkurangnya biaya pengeluaran.

Bagi Padmini yang merupakan praktisi pertanian,  kegiatan bertani di rumah bisa berefek baik bagi si pemilik hobi dalam memenuhi kebutuhan diri, “Syukur-syukur ini juga bisa bermanfaat untuk sekitar.” Selain memunculkan kemandirian pangan, bertani ternyata juga bisa memberikan dampak sosial hingga psikologis yang baik.

Diri dan Sekitar

Selama empat bulan terakhir, Mega mengaku rajin memasak sambal dari cabai dan tomat hasil panennya. Tanaman cabainya yang tumbuh subur kerap kali mengundang rasa penasaran tetangga. Bahkan, beberapa tetangganya kini terpengaruh untuk ikut menanam. “Kadang suka ada yang minta cabai untuk masak, beberapa mau ikutan (bertanam). Berasa kayak influencer sampai bisa bikin orang lain terpengaruh,” ujarnya.

Belalang hinggap di tanaman sawi milik Didik (Foto: Rieka Yusuf)

Tanaman seledri milik Didik Ikhsan Ferdianto (Foto: Rieka Yusuf)

Hal sejenis juga dirasakan oleh Didik. Kunjungan ke warung sekitar untuk membeli sesuatu sering jadi ajang tetangga untuk menanyakan tanamannya.  Lelaki kelahiran 1995 itu dikenal sebagai ‘mas-mas yang tanaman di rumahnya bagus’. Demikian sebutan yang Didik ketahui dari warga sekitar.

Pernah beberapa kali, tetangga atau warga yang entah dari mana asalnya, datang ke rumah. “Tetangga yang dikenal bilang, ‘Mas itu ada yang nyariin’. Ya, ternyata untuk lihat tanaman-tanaman aja,” jawabnya. Terlepas dari bagaimana orang mengenal keduanya, baik Didik maupun Mega sama-sama merasakan kebahagiaan ketika melakukan aktivitas menanam sayuran.

Kegemaran dalam hal tertentu menjadi dasar orang hobi melakukan sesuatu. Menurut psikolog Dr. Aisah Indati, M.S., ketika orang melakukan suatu hal setidaknya ia akan mendapatkan reward atau punishment. Aktivitas bertani yang menghasilkan panen berkualitas dan apresiasi dari lingkungan sekitar menjadi penghargaan yang akan memunculkan motivasi diri. “Ketika seseorang mendapatkan hasil dan apresiasi dari lingkungan sekitar atas hal yang dilakukannya, itu akan membuatnya semakin ingin melakukan lagi, misalnya jadi hobi,” jelasnya.

Motivasi diri tersebut tak serta merta hanya berpengaruh pada kegemarannya. Motivasi diri bisa memunculkan live satisfaction (kepuasan hidup) terhadap hasil yang didapat dan eksistensi seseorang. “Hasil dan Eksistensi yang akhirnya dimiliki ini akan berpengaruh pada karakter seseorang dalam melakukan atau meraih sesuatu, bisa saja ia akan menjadi seseorang yang percaya diri atau mungkin berambisi,” tambah Aisah. Secara tidak langsung, bertani ternyata bisa menjadi sarana pembentukan karakter seseorang.

Didik senang bertani, melihat sawinya tumbuh, cabainya rimbun, atau anggurnya yang mulai banyak berbuah adalah kepuasan. Namun, hasil panen sayur seperti kangkung, terong, sawi, tomat, terutama cabai yang cukup banyak sering membingungkannya. “Hasil panen ini gak mungkin semuanya aku konsumsi pribadi, makanya sering dibagikan ke teman-teman, tetangga, atau siapa pun yang mau, itu boleh,” jelas Didik. Aktivitas urban farming yang dilakukan, diakui Didik memiliki manfaat sosial.

Padmini tengah memanen selada hasil tanamannya (Foto: Padmini)

Sebagai seorang akademisi dan juga kepala rukun tetangga di lingkungan rumah, Padmini juga kerap memberikan pelatihan bertani kepada tetangga. “Saya banyak menanam sayuran, terus juga punya cukup banyak alat-alat. Seperti pot waktu itu ada ratusan bahkan, itu saya kasih ke ibu-ibu sekitar, sama bibit sayur, mereka harus tanam dan difoto perkembangannya.” Hal demikian dilakukannya untuk mendorong warga di sekitar memiliki kemandirian pangan sekaligus mengisi waktu luang kala pandemi.

Ironi Petani

Ironi muncul dari sisi petani. Pandemi memang membawa kegemaran bertani yang bahkan bisa dikatakan oleh Padmini sebagai salah satu upaya kemandirian pangan. Nampaknya, hal yang sama tidak bisa dirasakan oleh para petani. Daya beli masyarakat yang turun dan berbagai kebijakan mencegah penyebaran Covid-19 pun menyebabkan pelarangan industri nonrumah. Padahal, keberadaan restoran dan hotel jadi konsumen berpengaruh dalam produksi petani.

Menurut Padmini, hal demikian yang menimbulkan komoditas sayur melimpah, tetapi konsumen terbatas. Situasi ini menyebabkan harga sayur anjlok dan petani merugi. “Panen yang melimpah tapi permintaan tidak ada, jika tidak mengetahui pascapanen biasanya akan dibiarkan mati di kebun untuk menjadi pupuk,” jelas Padmini.

Pengelolaan pascapanen pun bisa jadi solusi dari permasalahan tersebut. Padmini menjelaskan, selain mengurangi tanaman sayur semusim yang berpotensi merugi seperti sawi, kangkung, bayam, dan sebagainya, petani harus berinovasi untuk mengelola panennya menjadi produk lain. “Contohnya seperti tanaman cabai dan tomat, walaupun tidak berhasil dijual, keduanya bisa dikeringkan atau diolah menjadi sambal kemasan, ini bisa jadi kesempatan untuk mendirikan UMKM,” ujarnya.

Dana sebesar Rp123 triliun yang dianggarkan pemerintah untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN) telah dialokasikan untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Dosen Agroteknologi UPN “Veteran” Yogyakarta tersebut memberi saran untuk memulai usaha ini dibutuhkan kolaborasi, tidak bisa perorangan, “Pemerintah sudah dukung UMKM. Namun, harus ada kegiatannya dulu, buat paguyuban, kalau individu ke pemerintah akan sulit.”

Menjawab tantangan pandemi untuk berbagai sektor, dianggapnya sebagai kesempatan untuk melakukan pengembangan dari banyak sisi. Hal yang sama juga harus diterapkan oleh para petani, “Karena kuncinya yang paling penting, ya… melalui inovasi dan kreasi,” tutup Padmini. (Rieka Yusuf)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng di Negeri Funginesia

Ilustrasi jamur (Sumber: Krzystof Niewolny via unsplash.com) Di sebuah negeri di dunia ketiga bernama Funginesia. Pagi hari jadi hari sibuk bagi rakyat fungi (sapaan akrab kingdom lain untuk menyebut masyarakat Funginesia) dari empat distrik yaitu Zygomycota, Ascomycota, Basidmycota, dan Deuteromycota. Masing-masing rakyat di empat distrik terlihat sibuk menyiapkan hari. Menata banyak persiapan untuk bereproduksi bagi fungi dewasa, hingga mengikuti pelatihan menginang bagi fungi remaja. Ada satu program wajib Funginesia yang diterapkan untuk rakyatnya, fungi-fungi muda dididik para tetua untuk merantau di dunia pertama agar sukses menginang. Mereka yang berhasil mencapai prestasi menjadi parasit, baik obligat dan fakultatif, akan ditempatkan di jabatan pemerintahan. Mereka yang kembali sebagai saprofit akan dianggap sebagai masyarakat jelata yang umumnya bertahan hidup dengan bantuan sosial negara. “Hahhh, meresahkan sekali,” keluh Ceos, fungi muda dari Klan Mycosporium. Saat i...

Modernisasi Teh jadi Daya Tarik Pasar Sempit

Teh hijau mawar di dalam poci (Foto: penulis) Dalam legenda Kaisar Shen Nung, teh ditemukan di Cina sekitar 5000 tahun yang lalu. Asal mula teh juga dikisahkan dalam legenda India melalui cerita biarawan Bodhidharma. Kini, teh tak hanya jadi bagian dari sejarah dan budaya. Teh telah menjelma menjadi komoditas dengan hasil akhir minuman penuh kreatifitas.          Tak ada hari tanpa minum teh. Begitu demikian yang diakui Nur Winarni, wanita paruh baya berusia 54 tahun asal Jogja. Kegiatan memasak air panas dan teh tubruk Jawa berjenama Djatoet mengawali aktivitasnya di pagi hari. Jika tersedia, ia akan menikmatinya dengan beberapa potong biskuit. Jika tidak, satu gelas teh jawa bercampur satu sendok makan gula pasir tersebut tetap dinikmatinya dengan khusyuk.          “Setiap hari pasti minum teh manis panas. Kalau gak minum rasanya pusing, seperti gak punya energi,” ujarnya. Kebiasaan minum teh sudah dilak...

de Ngokow, Permata Tersembunyi di Yogyakarta

  Suasana de Ngokow yang terletak di Pendopo nDalem Pujokusuman Pendopo nDalem Pujokusuman merupakan tempat bersejarah milik Sultan Hamengkubuwono VIII. Sebuah cagar budaya yang pernah menjadi markas gerilya bangsa Indonesia kini disulap menjadi tempat nyaman untuk bercerita. Ini adalah hal unik sebab modern dan tradisional menjadi konsep yang bersatu padu. Sebuah kesatuan seimbang yang jarang ditemui pada banyak kafe. de Ngokow Coffee Roastery and Tea Club adalah pelakunya. Yogyakarta dipilih menjadi cerita ke-8 dari usaha yang lahir sejak tahun 2012. Kini, de Ngokow telah memiliki 6 cabang di 4 kota besar Indonesia dan masing-masing 1 cabang di Belanda juga Belgia. Selayaknya bisnis food and beverage lainnya, sajian seperti kopi, teh, makanan berat, hingga makanan ringan pun tersedia. Seperti V60 Levitation yang menjadi salah satu menu andalan. Kopi hitam yang teknik pembuatannya dikembangkan lagi oleh barista de Ngokow ini bahkan telah menjuarai Festival Kopi Indonesia Champ...