Langsung ke konten utama

Modernisasi Teh jadi Daya Tarik Pasar Sempit



Teh hijau mawar di dalam poci (Foto: penulis)

Dalam legenda Kaisar Shen Nung, teh ditemukan di Cina sekitar 5000 tahun yang lalu. Asal mula teh juga dikisahkan dalam legenda India melalui cerita biarawan Bodhidharma. Kini, teh tak hanya jadi bagian dari sejarah dan budaya. Teh telah menjelma menjadi komoditas dengan hasil akhir minuman penuh kreatifitas.

        Tak ada hari tanpa minum teh. Begitu demikian yang diakui Nur Winarni, wanita paruh baya berusia 54 tahun asal Jogja. Kegiatan memasak air panas dan teh tubruk Jawa berjenama Djatoet mengawali aktivitasnya di pagi hari. Jika tersedia, ia akan menikmatinya dengan beberapa potong biskuit. Jika tidak, satu gelas teh jawa bercampur satu sendok makan gula pasir tersebut tetap dinikmatinya dengan khusyuk.

        “Setiap hari pasti minum teh manis panas. Kalau gak minum rasanya pusing, seperti gak punya energi,” ujarnya. Kebiasaan minum teh sudah dilakukannya sejak kecil. Sebelum berangkat sekolah selalu ada rutinitas ngeteh bersama saudara lainnya. “Anak ibu saya banyak, khusus minum teh masing-masing bahkan punya cangkir yang diberi nama.”

        Berbeda dengan Nur Winarni, Azzahra Dwiningrum mulai menyukai teh di usia 20 tahunnya. Sejak pandemi berlangsung, sang ayah sering menghidangkan teh lemon bercampur madu. Kini, tak hanya teh lemon, wanita yang akrab disapa Zahra tersebut juga rutin mengonsumsi teh hijau di malam hari. Selain aroma dan rasa yang menenangkan, teh tersebut juga dikonsumsinya untuk menurunkan berat badan. Tak hanya Zahra, aroma dan rasa serta sugesti penambah energi jadi alasan Winarni mengonsumsi teh.

        Terbiasa mengonsumsi, indera perasa dan penciumannya jadi lebih sensitif dalam mengenal macam-macam teh. Ketika mengunjungi daerah lain, Winarni mampu membedakan rasa teh yang dihidangkan. Teh di Jakarta, Bandung, dan rumah makan Padang misalnya, “Beda dengan teh Jawa, teh-teh di daerah tersebut ada yang dari mawar, seruni, vanila, dan sebagainya. Rasanya lebih enak teh Jawa di lidah saya,” jelas ibu dua orang anak tersebut. Kebiasaan minum teh keduanya didasari pola yang dibentuk oleh budaya dari lingkungan terdekat. Nur Winarni kecil dengan rutinitas minum teh sebelum berangkat sekolah, dan Zahra dengan teh lemon ayahnya.

Budaya Ngeteh

Penyeduhan teh racikan Oza Sudewo, (Foto: Instagram @ozasudewo)

        Berbicara tentang budaya ngeteh, di Indonesia belum ada kesepakatan istilah yang merujuk pada budaya minum teh masyarakat. Seperti budaya minum teh di Inggris bernama afternoon tea misalnya.

       Afternoon tea merupakan tradisi minum teh di sore hari yang dihidangkan dengan makanan ringan. Tradisi ini dikembangkan oleh Anna Russel, Duchess of Bedford, sekitar tahun 1800-an. Selain Inggris, Jepang juga memiliki tradisi chadou dan channoyu.  Keduanya merupakan tradisi minum teh berupa upacara dengan berbagai proses yang memiliki nilai seni dan filosofi kehidupan.

        Meski demikian, beberapa daerah di Indonesia sudah memiliki sebutan untuk budaya minum teh khas sukunya. Tradisi Nyaneut milik suku Sunda misalnya. Sebelum diminum, gelas berisi teh harus diputar dua kali lalu dihirup aromanya. Aroma camellia sinensis yang diolah dengan oksidasi tinggi selayaknya teh hitam mendominasi konsumsi teh Jawa Barat. Di Jakarta, orang Betawi menyebut Nyahi untuk mewakili budaya minum teh tubruk. Teh tubruk yang diseduh tanpa disaring dinikmati bersama gigitan gula kelapa terlebih dahulu.

       Di tingkat keraton, tradisi minum teh juga dimiliki Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Tradisi yang tidak sembarang dilakukan ini bernama Patehan. Di Bangsal Patehan, lima orang perempuan serta lima orang laki-laki akan menyajikan teh dengan berbagai hidangan pelengkap untuk raja, keluarga, dan tamunya.

    Di Jawa Tengah dan sekitarnya, ada akronim yang merujuk pada cara konsumsi teh bernama Nasgitel. Teh yang memiliki kepanjangan panas, legi tur kentel (manis dan kental) ini biasanya menggunakan teh melati. Selain Nasgitel, wedang juga dikenal Winarni sebagai minuman khas Yogyakarta.

     Wedang atau ngawe kadang bisa tergolong sebagai teh. Pakar herbal Dyah Tri Hastari Kirana Roekmi mendefinisikan teh sebagai simplisia yang belum berubah tetapi bisa diseduh. “Contohnya daun, kalau digiling sudah berubah, tapi kalau hanya dikeringkan dan diseduh itu bisa disebut teh,” ujarnya. Selama ini, kebanyakan orang mengetahui teh merupakan minuman yang berasal dari tanaman teh atau camellia sinensis. Menurut wanita yang telah berkecimpung di dunia herbal sejak tahun 1999 ini, teh tidak hanya sekadar daun, tapi juga bunga, biji-bijian, dan sejenisnya.

       Dalam kasus wedang, bisa dikatakan sebagai teh apabila tanpa bahan tambahan yang diubah wujudnya seperti gula ataupun sari lemon. Wedang uwuh yang terdiri dari seduhan berbagai simplisia bisa dikatakan sebagai teh. Ia juga mencontohkan seduhan bunga seperti rosella dan telang yang tergolong teh, bukan hanya minuman herbal.

        Oza Sudewo, seorang pakar teh di Bandung, turut menjelaskan beberapa pengertian teh. Secara umum, istilah teh merujuk pada sesuatu yang diseduh, berubah rasa dan warna, berkhasiat serta bisa dinikmati. “Sedangkan secara khususnya, teh hanyalah minuman yang berasal dari tanaman teh. Ada satu istilah lagi, teh yang berasal dari selain tanaman camellia sinensis disebut tisane,” ujarnya saat diwawancarai melalui Zoom.

Inovasi dan Tren

Campuran teh hitam dengan apel dan bunga telang dalam varian tea blend Turkish Apple racikan Oza Sudewo (Foto: Instagram @Oza.Tea)

       Berbagai istilah tersebut mulai menunjukkan perkembangan konsumsi teh di masyarakat. Oza yang juga merupakan seorang tea blender kerap bereksperimen dengan komposisi teh. Istilah tea blending mewakili aktivitas memadukan teh dengan elemen simplisia lain yang menghasilkan bahan kering siap seduh. Seperti perpaduan teh hijau dengan mangga dan daun mint racikannya mampu mencipta rasa teh yang segar juga aroma yang kuat.

Campuran teh hijau dengan mangga dan daun mint dalam varian tea blend Mango Mint racikan Oza Sudewo (Foto: Instagram @Oza.Tea)

      Bisnis menjadi salah satu alasannya melakukan eksperimennya tersebut. Pengalaman pertama konsumsi apricot peach black tea adalah hal yang juga ingin diciptakan kepada orang lain. “Sebelum menekuni bisnis teh, pernah coba apricot peach black tea dari kenalan, dan ini rasanya mind blow banget! Oh, ternyata teh bisa seenak ini, ya?” cerita Oza.

        Konsumsi teh orang Indonesia diakui Oza menjadi peluang yang sangat besar untuk industri. Teh merupakan minuman kedua yang paling tinggi dikonsumsi selain air putih secara global maupun nasional. Dari segi konsumen, Indonesia diakui Oza sudah memiliki modal sosial peminum teh.

        Tea blending merupakan salah satu cara pengelolaan teh yang menarik. Inovasi memadukan teh dengan simplisia lain seperti buah, rempah-rempah, bunga, maupun biji-bijian bisa jadi keunggulan modernisasi teh. Seperti yang dilakukan salah satu kedai teh di Yogya bernama Suhartea.

        Salah dua owner Suhartea, Fajar Ramadhan dan Zulfikri  Fakhrul Hilmi, turut membagikan cerita di balik menu dan aktivitas kedainya. Menu-menu tea blend seperti teh vanila, pisang, peppermint, kampul, dan kayu manis menjadi fokus utama produk yang ditawarkan. “Meski demikian, menu single origin teh juga tidak dilupakan. Kami tetap ingin mengedukasi pembeli dengan keberadaan teh hijau, teh hitam, teh oolong, ataupun teh putih,” jelas Hilmi.

Kedai teh Suhartea di daerah Klebengan Kota Yogyakarta (Foto: penulis)

       Kebanyakan pembeli yang datang diakui mereka pada mulanya karena rasa penasaran sebab tak banyak kedai teh di sekitaran. Budaya minum kopi yang masih melekat di kalangan muda-mudi, membuat citra teh tidak sepopuler kopi. Sering juga ditemui calon pembeli yang bertanya rekomendasi teh. Jika demikian, baik Fajar maupun Hilmi akan bertugas sebagai teman diskusi yang turut mengedukasi.

    Suhartea sengaja mengejar pasar kecil teh di tengah menjamurnya kedai kopi di Yogyakarta. “Sempat dilema memang, antara memilih pasar berdasarkan tren atau pasar yang memang ingin benar-benar tahu mengenai teh. Namun, di situlah tantangannya, kami ingin memberikan kesan bukan hanya sekadar minum teh, tapi paham seperti apa dan bagaimana rasanya,” jelas Fajar.

      Suksesnya kopi dalam menciptakan pasar besar tak lepas dari kontribusi film Filosofi Kopi adaptasi dari buku berjudul sama karya Dee Lestari. Pelaku usaha kopi mendadak diuntungkan sekaligus diresahkan. Pertumbuhan pesat kedai kopi menimbulkan persaingan ketat. Setelah kurang lebih lima tahun tren tersebut bertahan, menurut Oza Sudewo pelaku usaha kopi mulai diresahkan untuk berinovasi agar produknya tidak terbatas pada elemen kopi dan susu saja.

     Untuk inovasi, teh lebih beruntung. Tisane diakui Fajar dan Hilmi sebagai daya tarik produk teh yang ditawarkan. Karakter rasa yang tidak sekuat kopi membuat teh lebih fleksibel untuk dikombinasikan. “Teh ini lebih kompleks tetapi menarik. Menjadi nilai tambah karena lebih fleksibel untuk dilakukan eksperimen, pencampuran atau tisane yang out of the box ini bisa membuat teh jadi another level,” ujar Fajar Ramadan.

      Tak hanya buah, ia juga mencontohkan sajian perpaduan teh dan susu seperti earl grey milk tea, salah satu produk dengan penjualan terbaik di kedainya. Teh hitam dengan aroma bergamot bercampur susu dalam takaran yang pas bisa memberikan sensasi berbeda saat meminum earl grey. Kesuksesan earl grey milk tea dalam memikat pasar yang tak hanya dirasakan Suhartea bisa menjadi bukti. Kenyataannya, kompleksitas dan fleksibilitas teh inilah yang menjadi peluang besar untuk pelaku bisnis teh terus berinovasi.

Menu earl grey milk tea Suhartea (Foto: Penulis)

      Pengembangan industri teh juga tak bisa lepas dari kehadiran teh kekinian. Sebagai peminum teh, tren minuman kekinian dianggap Zahra sebagai langkah baik. “Mereka punya inovasi yang lebih beragam, dan ini bagus sekali untuk bersaing dengan minuman lain seperti kopi,” jelas mahasiswa Politeknik Sahid Jakarta tersebut. Keberadaan minuman kekinian berbahan teh juga dianggap Oza memiliki dampak baik bagi pemanfaatan produksi teh Indonesia.

      Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan produksi teh terbesar ke-7 di dunia. Hingga tahun 2016, Indonesia bahkan sempat menduduki posisi ke-5. Sementara di sisi lain, data Badan Pusat Statistika (BPS) menunjukkan Indonesia masih melakukan impor 14.922 teh dari Vietnam di tahun 2018. Teh dengan harga terjangkau dan kualitas yang bagus menjadi alasan mengapa Indonesia masih melakukan impor teh Vietnam. Selain itu, 134.500 ton teh yang diproduksi selama 2018 dianggap belum mampu memenuhi permintaan pasar. “Kalau dilihat dari kacamata ekonomi, impor ini menjadi wajar dilakukan karena selain pemenuhan permintaan, tapi juga kualitas dan harga yang lebih bersaing dibanding produksi dalam negeri,” jelas Oza.

     Hal demikian menjadi pekerjaan rumah bagi pihak berkaitan dengan teh di Indonesia. Produsen dan pebisnis dianggap Oza memiliki PR lebih banyak untuk mengedukasi lalu kemudian terciptanya permintaan, baik konsumsi pribadi maupun usaha. “Bisnis di lini teh ini memang tidak memerlukan biaya besar untuk alat seperti kopi, tapi product knowledge-nya yang memang harus gila,” tutupnya. (Rieka Yusuf)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng di Negeri Funginesia

Ilustrasi jamur (Sumber: Krzystof Niewolny via unsplash.com) Di sebuah negeri di dunia ketiga bernama Funginesia. Pagi hari jadi hari sibuk bagi rakyat fungi (sapaan akrab kingdom lain untuk menyebut masyarakat Funginesia) dari empat distrik yaitu Zygomycota, Ascomycota, Basidmycota, dan Deuteromycota. Masing-masing rakyat di empat distrik terlihat sibuk menyiapkan hari. Menata banyak persiapan untuk bereproduksi bagi fungi dewasa, hingga mengikuti pelatihan menginang bagi fungi remaja. Ada satu program wajib Funginesia yang diterapkan untuk rakyatnya, fungi-fungi muda dididik para tetua untuk merantau di dunia pertama agar sukses menginang. Mereka yang berhasil mencapai prestasi menjadi parasit, baik obligat dan fakultatif, akan ditempatkan di jabatan pemerintahan. Mereka yang kembali sebagai saprofit akan dianggap sebagai masyarakat jelata yang umumnya bertahan hidup dengan bantuan sosial negara. “Hahhh, meresahkan sekali,” keluh Ceos, fungi muda dari Klan Mycosporium. Saat i...

de Ngokow, Permata Tersembunyi di Yogyakarta

  Suasana de Ngokow yang terletak di Pendopo nDalem Pujokusuman Pendopo nDalem Pujokusuman merupakan tempat bersejarah milik Sultan Hamengkubuwono VIII. Sebuah cagar budaya yang pernah menjadi markas gerilya bangsa Indonesia kini disulap menjadi tempat nyaman untuk bercerita. Ini adalah hal unik sebab modern dan tradisional menjadi konsep yang bersatu padu. Sebuah kesatuan seimbang yang jarang ditemui pada banyak kafe. de Ngokow Coffee Roastery and Tea Club adalah pelakunya. Yogyakarta dipilih menjadi cerita ke-8 dari usaha yang lahir sejak tahun 2012. Kini, de Ngokow telah memiliki 6 cabang di 4 kota besar Indonesia dan masing-masing 1 cabang di Belanda juga Belgia. Selayaknya bisnis food and beverage lainnya, sajian seperti kopi, teh, makanan berat, hingga makanan ringan pun tersedia. Seperti V60 Levitation yang menjadi salah satu menu andalan. Kopi hitam yang teknik pembuatannya dikembangkan lagi oleh barista de Ngokow ini bahkan telah menjuarai Festival Kopi Indonesia Champ...