![]() |
Dokumentasi pribadi penulis saat melakukan liputan di aksi Gejayan Memanggil pertama pada 23 September 2019 di Yogyakarta. |
Saat berada di awal semester kelas konsentrasi jurnalistik, dosen pengampu bertanya pada 25 mahasiswa di kelasnya, termasuk saya. "Mengapa kalian memilih konsentrasi ini?" begitu sekiranya pertanyaan yang turut membuka sesi diskusi di kelas.
Satu per satu mahasiswa membalas dengan jawaban yang juga beragam. Seperkian detik mendengar pertanyaan, saya tahu jelas apa yang harus dikatakan. Ini momen langka, sebab bisa dihitung jari bertemu kesempatan untuk menyampaikan alasan dari pilihan besar yang saya ambil.
"Saya suka dengan aktivitas liputan," jawab saya tanpa keraguan. Jawaban ini murni dari hati. Seakan, sedang mengeluarkan sebuah perapian lengkap dengan kobaran api yang menjadi penyebab dada berasap.
Turun ke lapangan, menghadapi ketidakpastian, menunggu pertemuan dengan narasumber bahkan doorstop, mengajukan pertanyaan tanpa dihakimi "jangan banyak tanya!", berpikir keras saat angle yang dirancang tidak memenuhi standar kecukupan informasi di lapangan, dan banyak momen lain yang sering buat paru-paru kembang kempis lalu mengembang lagi! Saya suka proses itu.
Hari ini saya belajar frasa baru pada tulisan Pak Ignatius Haryanto di Kompas.id. Beliau merupakan dosen jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara. Frasa "jurnalisme sol sepatu" disematkannya pada tulisan opini yang menyampaikan sebuah proyek jurnalisme berbasis indepth reporting bernama Multatuli. Saya tertarik dengan ungkapan tersebut. Sol sepatu? Apa maksudnya?
Frasa ini turut digunakan Sindhunata dalam kata pengantar pada buku Kartono Riyadi. Semasa menjadi wartawan Harian Kompas, Sindhunata terkenal dengan tulisan feature-nya yang menarik. Jurnalisme sol sepatu juga digunakan Paus Fransiskus dalam sambutannya di Hari Komunikasi Sosial pada Mei kemarin. Melalui sosok Lolo atau Beato Manuel Lozano Garrido, yang dalam keyakinan Nasrani adalah seorang kudus Allah pelindung para jurnalis, Paus Fransiskus mengutip salah satu pesan Yesus, "Datang dan lihatlah!"
Melalui pesan keduanya, frasa jurnalisme sol sepatu memiliki arti ketika memperoleh informasi dan menjadikannya berita, jurnalis harus turun ke lapangan atau menghabiskan sol sepatunya. Melihat langsung bagaimana sebuah peristiwa terjadi, sekaligus melakukan verifikasi informasi menggunakan inderanya sendiri.
Hidup wartawan juga digambarkan pada pekerjaan kaki yang akrab dengan kehidupan di jalan. Tempat wartawan adalah lapangan, bukan ruangan dengan komputer di hadapan. Berbeda dengan sol sepatu, jurnalisme kabel adalah sebutan lain bagi aktivitas jurnalistik di tempat kedua tersebut.
Hal yang menarik adalah kondisi pandemi turut memengaruhi proses liputan ala jurnalisme sol sepatu ini. Saya jadi teringat oleh ucapan dosen yang sama dengan yang saya sebutkan di awal tulisan. Dalam kelas lain yang mengharuskan kami melakukan liputan saat pandemi, ia berpesan tidak ada berita seharga nyawa. Menjaga keselamatan nyawa tetap jadi prioritas kami (yang mungkin akan menjadi) calon jurnalis sesungguhnya.
Meski demikian, berbagai pertimbangan dan alternatif tetap dipilih untuk kelancaran peliputan. Meski juga banyak keterbatasan, kami sudah cukup bangga tulisan berhasil diselesaikan.
Ini menjadi topik yang sangat menarik bagi perkembangan jurnalistik di dunia. Paling tidak bagi negara-negara dengan permasalahan pandemi Covid-19 yang kompleks, seperti Indonesia.
Jika ada tanggapan, mari berdiskusi lebih lanjut!
Komentar
Posting Komentar