Di suatu pagi, sebelum malam
yang benar-benar usai, seringkali aku terjaga. Menatap langit-langit kamar yang
was-was kucurigai akan runtuh karena terlalu berat menampung banyak pikiran.
Akan ada satu proses membuka keping-kepingan memori. Menenggelamkan pada
kekurang-kurangan yang kebanyakan kusesali sembari berkata, “Kenapa tidak
demikian?” kataku sambil memaki diri.
Aku lelah, Tuhan.
Menenggelamkan diri pada fokus niskala abstrak yang selalu memaksa menangis
karena kelelahan sebab terlalu banyak berpikir. Lebih banyak waktu senang yang dilupa.
Lebih sedikit memori bagus yang diingat. Nyatanya aku selalu terjebak dengan
pemahaman bahwa aku selalu yang paling salah. Akan mudah bagiku memuji dan
menerawang kebahagiaan orang lain. Namun, tidak berlaku untuk penghakiman yang
seolah jadi hukuman dari diriku untuk diriku.
Semalam aku punya kesempatan
untuk berbicara. Tawaran minum kopi dari teman membawaku pada percakapan penting
dalam kehidupan. Tentang harapan yang seringkali jadi kambing hitam
keserakahan. Nyatanya, semua manusia butuh harapan untuk bertahan. Tuhan,
lagi-lagi aku terjebak dengan pikiran usang. Bahwa aku, si manusia tanpa
harapan. Bukankah aku terlalu lemah?
Hingga akhirnya kupanggil
kembali kenangan baik yang sempat mengendap. Perlahan tapi pasti mereka muncul
kembali. Kenangan pertama adalah diriku yang berpura-pura tidur saat ayah
pulang kerja. Dalam kepura-puraan tidur dengan televisi menyala, ia akan
mematikannya dan menyelimutiku. Lalu setelahnya, dengan sangat hati-hati ia
mencium kening.
“Ika, kenapa papah sayang banget
sama Ika, ya?” Aku bergeming, rasa gengsi untuk menjawab mendominasi. Meski
demikian, tak peduli dengan rasa geli karena rambut-rambut tipis di sekitar
mulutnya yang menggeliat di kening, aku bangga dengan kasih sayang yang
ditunjukkannya.
Bagaimana bisa aku melupakan
momen penting ini? Kebiasaan yang dahulu selalu buat bergidik ketika mengingat.
Bergidik karena malu, di umur belasan tapi terasa satuan. Tapi kini jujur, aku
rindu.
Kupejamkan mata lagi,
kupanggil lagi memori baik lainnya. Ingatan membawa pada masa mula kedewasaan. Terjebak
dalam kebingungan seorang perempuan yang baru menempuh siklus kedewasaan. Aku
tak paham rasa sakit mengerikan apa yang ada di perut saat itu. Aku juga tak
paham perubahan emosi macam apa yang bisa buat mencureng berkali-kali.
Nampaknya, keresahanku sangat kentara. Nampaknya lagi, keresahanku menular
padanya.
Di hari yang sama, kala diri
tengah mengerjakan pekerjaan rumah bertumpuk khas anak SMP, ia pulang dengan
dua kantong keresek. Aku mengenal dua hal yang dibawa. Di tangan kirinya,
terlihat satu kembang gula berukuran tabung gas tiga kilo. Di tangan satunya,
satu gelas minuman dingin dengan hiasan gula-gula dan cokelat terasa
nikmat.
“Ika! Ika pasti suka!” Kedua
tangannya mengangkat jajanan khas pasar malam itu tinggi-tinggi. Mataku
berbinar, menatap dua hal yang bisa kupastikan akan membawa pada kesenangan
untuk mengalihkan rasa sakit di perut.
Dari memori ini teringat
sesuatu. Ayah lebih mengetahui apa yang kumau dan kubutuh dibanding diriku
sendiri. Dia peramal hebat.
Aku mengelap tetesan air mata.
Rasa-rasanya terlalu malu untuk mengingat lagi. Aku benar-benar punya memori
baik yang dilupakan demi segenggam pengakuan bahagia yang sebenarnya sudah jauh
lebih dulu kudapatkan.
Pandanganku mulai teralihkan.
Kulihat kotak kertas berwarna hitam di ujung nakas. Di hari jadi sebelum
merantau, ini adalah salah satu hadiah istimewa dari mereka yang kupanggil
sahabat. Kupandangi dengan seksama.
Lagi, teringat betapa
beruntungnya diri. Persiapan ujian menyita waktu kami sebagai pelajar. Selepas
pulang sekolah, aku sedikit mengeluh dan bertanya mengapa tak ada yang menyapa
riang untuk mengatakan selamat hari jadi? Ternyata, mereka sudah menunggu di
rumah. Membawa kue dengan lilin berdigit 7 dan 1. Aku tahu, mereka pasti
membelinya dengan uang saku pas-pasan anak SMA.
“Selamat ulang tahun, Ika!”
seru salah satu kawan sembari menyodorkan scrapbox buatan mereka. Di
kotak itu, ada sembilan foto unik sosokku di berbagai kesempatan. Di dalamnya
lagi, kotak yang lebih kecil berisi 4 surat dan diberi tajuk ‘harapan’.
Nyatanya, aku lebih banyak membaca keputusasaan dibanding harapan. Aku tertawa,
doa yang ditulis sangat-sangat menyebalkan. Namun, segala yang dibuat pasti
tulus dari hati mereka.
Di tengah aktivitas mengingat,
kubuka ponsel pintar yang sedari tadi dipakai untuk mendengarkan lagu
keras-keras. Tujuanku adalah salah satu aplikasi penyedia layanan pesan langsung
berwarna hijau. Kubuka sesi percakapan grup berisi aku dan keempat makhluk
asing bernama sahabat. ‘Jika ada yang berencana menikah lebih dulu, tolong
pilih warna ungu untuk seragam kebaya!’ tulisku.
Kebahagiaan itu ternyata
selalu didapatkan, termasuk kasih sayang sosok orang tua lainnya. Meski
tergolong minim kasih sayang ibu, selalu ada alasan cukup untuk bersyukur
dengan perhatian para ibu dari kawan-kawan. Ingatan kembali menerawang
jauh-jauh waktu.
Di sebuah kesempatan, guru
mata pelajaran biologi membentuk kelompok di kelas yang mengharuskan kami
membuat atribut bersimbol organ pencernaan manusia. Secara kilat diputuskan
mengerjakan tugas di rumah Dina, yang kini jadi karibku membahas kehidupan juga
keluarga. Di rumahnya, sang ibu yang gemar memasak menyiapkan banyakan makanan
untuk kami.
Di antara lima teman lainnya,
aku seperti anak yang tak pernah makan makanan rumahan. Jiwa kekanakan
menyambut senang hidangan ikan usam, soto ayam, lalapan, dan sambal terasi.
Bagiku, makanan di hadapan saat itu adalah makanan sorga. Sebutan untuk
segala makanan yang disajikan dengan niat, tangan, rasa, waktu, atau keadaan
spesial. Bisa dihitung jari dalam setahun aku dan papah melakukan ritual kepul
asap di dapur, sangat jarang. Karena ini aku sangat menikmati momen memakan
masakan Mamah Dina.
“Ibu, Ika boleh tambah lagi?”
kusodorkan piring kosong yang sebelumnya penuh dengan berbagai lauk dan
nasinya. Nyatanya, hubungan dengan Mamah Dina berlanjut setelahnya. Di jam
istirahat sekolah, Dina pernah beberapa kali membawakan bekal yang khusus
dibuat ibunya untukku. Atau dibanyak kesempatan aku akan lama menginap di
rumahnya, merangkap jadi anak yang juga sering bermanja ria. Hingga akhirnya,
aku mendelegasikan diri sebagai anak ‘bontot’ di keluarganya.
Di bidang asmara, Mamah dari
Gandung -sahabatku lainnya- sangat getol memberi nasihat. Terutama sebulan
sebelum merantau ke Kota Pelajar ini. “Ika, mamah bilang ya, gak apa-apa untuk
coba banyak hal di sana, terutama pacaran.” Gaya bicara Mamah Gandung yang
medok semakin menekankan kata demi kata yang disampaikannya.
“Gak apa-apa pacaran, tapi
yang penting Ika harus bisa jaga diri. Jangan terlena sama iming-iming kata
sayang dan lain-lain. Ini, kalau di atas…,” katanya menggantung sambil menunjuk
area wajah. “… Gak apa-apa. Tapi yang lain, tidak boleh!”
Aku dan kawanku saling
berpandang. Nasihat ini agak tabu, tapi sebagai anak perempuan yang hendak
merantau, wejangan tersebut berhasil kusimpan rapat-rapat dalam ingatan. Kini,
apa yang disampaikan Mamah Gandung bisa kulihat realisasinya dari sekitar.
Betapa sering kutemukan kisah-kisah kesedihan berkedok romantisme masa pacaran
yang merugikan.
Aku menghela nafas untuk ke sekian
kali. Kepingan-kepingan arkais berbentuk ingatan ini cukup menyadarkanku
tentang investasi kebahagiaan. Masih banyak momen lainnya, tapi di kans ini harus
kuabadikan dengan ingatan baik.
Teringat salah satu metode
belajar yang kubaca pada suatu artikel. Tentang bagaimana ingatan pelajaran
bisa semakin lekat kala kita mencium bebauan baru atau unik saat
mempelajarinya. Dengan mencium kembali baunya, atau mengingat wanginya,
kemungkinan besar memori itu akan muncul.
Aku mulai
mengimplementasikannya pada memori-memori baik yang kupunya. Tiap membuka
kepingan tadi, kucium kuat kolonye bayi yang baru dibeli seminggu lalu. Tak
hanya wewangian, saat kepingan lain hadir kudengarkan juga sebuah lagu baru
yang muncul karena algoritma platform musik di ponsel. Satu lagi, tiap berada
di momen baik lainnya kuandalkan juga berbagai produk makanan dan minuman untuk
menandai memori.
Penciuman, pendengaran, dan
pengecapan jadi indera yang kugunakan untuk investasi kebahagiaan. Selain
penglihatan yang tentunya bisa diperantarai melalui foto, video, tempat, dan
lainnya. Sayangnya, indera peraba terlalu lemah untuk kutugaskan di misi ini.
Indera penciuman kuungguli,
sensornya yang kuat bisa jadi karena indera inilah yang umurnya paling lama di
tubuh. Ia merupakan indera pertama yang tumbuh sejak janin. Aku tentu berharap
tidak ada anosmik berkepanjangan dalam sejarah hidupku.
Mungkin kecemasanku berakar
pada proses dan waktu yang tak sadar sudah membawa diri pada fase menuju harus
bisa berdiri tanpa penyangga. Mungkin kecemasan ini disirami kemurungan dan
pikiran buruk tak mendasar sebab terlalu banyak yang ingin diraih. Mungkin
juga, bukan karena aku si manusia tanpa harapan, tetapi hanya sedang butuh mengingat
lagi tujuan.
Kurebahkan kembali diri dengan
nyaman. Langit-langit tidak jadi runtuh, mereka menguat kembali. Helaan nafas
kini jauh lebih ringan. Sembari merapal surat pendek di juz 30, aku tak ingat
di surat ke berapa diriku terlelap.
Komentar
Posting Komentar