Langsung ke konten utama

Hutang Budi bukan Hutang yang Bisa Dibayarkan

 
Ilustrasi menolong (Sumber: Pixabay)

Beberapa bulan yang lalu, mungkin aku masih punya pikiran panjang soal bagaimana cara membalas budi. Apakah ada cara yang efektif untuk meringankan beban hati dan pikiran dari hutang budi?

Sebagai seseorang yang beruntung memiliki saudara dengan privilese tertentu, aku punya kesempatan untuk menikmati dunia yang mungkin saja tidak bisa dicapai di waktu yang sama dengan usaha sendiri. Aku mendapatkan bantuan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi.

Dulu, satu dan beberapa hal mengharuskanku sedikit meredam mimpi ingin berkuliah. Persoalan ekonomi hingga kesiapan orang tua jadi alasannya. Ditambah, aku pun masih jadi anak manja berbekal BMP, Beasiswa Mama Papa.

Dari permasalahan ini aku mendapat jalan lainnya. Dibiayai kuliah oleh salah seorang anggota keluarga besar dengan syarat merantau ke daerah asal sang suami di Yogyakarta.

Rasanya sangat senang saat itu. Selain karena bisa merasakan kuliah, kota yang kutuju adalah Yogyakarta. Daerah yang lebih sering kulihat pada siaran FTV dengan para artis yang terasa memaksa berlogat Jawa.

Singkat cerita, aku berhasil kuliah di Yogya mengenyam pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi. Tinggal di rumah besar sepi penghuni milik sang donatur pendidikan.

Selama kuliah, diri ini banyak belajar tentang kehidupan. Banyak mensyukuri hal-hal yang sebelumnya tidak didapatkan. Tak lupa mengimani dan melaksanakan nasihat Papa soal peka terhadap apa yang dilihat, dengar, dan rasakan.

Aku tumbuh menjadi Rieka yang agaknya lebih bijaksana. Tak lagi lebih suka menggigit dan berang ketika tersenggol sedikit. Aku juga terlibat dalam berbagai kegiatan sosial yang menyadarkan diri tentang indahnya menjadi seorang mahasiswa. Intinya, sangat bersyukur bisa disekolahkan dan memiliki banyak kesempatan baik dalam proses pendewasaan.

Aku anggap rasa syukur yang kudapat dari dibiayai sekolah adalah hal transaksional, sesuatu yang suatu saat nanti harus dikembalikan dengan jumlah yang sepadan. Di tahun akhir kuliah, sembari menyelesaikan skripsi, aku juga sibuk memikirkan bagaimana harus membalas budi.

Hingga tiba satu kesempatan yang dipikir bisa jadi cara. Melalui kesanggupan “membantu” aktivitas keuangan salah satu proyek pembangunan yang diinisiasi kerabat terdekat sang donatur pendidikan.

Dalam prosesnya lagi-lagi aku bersyukur, sebab punya kesempatan untuk mempelajari hal baru yang bermanfaat. Rasanya juga senang karena kesempatan ini bisa membangun kedekatan dengan sepupu.

Sampailah pada persimpangan kehidupan di masa akhir perkuliahan. Cabangnya tak hanya dua. Selain berbagai persoalan tugas akhir yang sedang dikerjakan, aku dihadapkan pada posisi simalakama. Berdiri di tengah-tengah antara sisi A dan B. Mengharuskanku menjadi pengkhianat juga pelindung di saat bersamaan. Aku merasa resah berkepanjangan. Pikirku saat itu harus bertahan sebab ini adalah jalan membalas budi.

Aku sudah melakukan usaha terbaik yang kupunya. Sudah memberikan kesediaan diri semaksimal yang kubisa. Hingga tiba pada batasan yang akhirnya diputuskan untuk menyerah dan mempelajari segalanya dari sudut pandang “balas budi bukan hutang yang bisa dibayarkan.”

Sampai kapanpun, bantuan yang diberikan oleh sang donatur pendidikan tak bisa diganti. Aku tidak bisa memberikan materi bahkan jasa sekalipun, dengan tujuan untuk mengembalikan yang dia beri. Kesempatan yang Ia berikan, materi yang Ia habiskan, waktu yang  dia siapkan, hingga emosional yang dia hadirkan mungkin memang ditakdirkan Tuhan untuk sampai padaku, melalui dirinya.

Ini bukan sebuah pembelaan karena aku akhirnya menyerah atas permintaan bantuan yang dihadapkan. Ini persoalan cara kami menjalani kehidupan sebagai tangan Tuhan. Akhirnya kuputuskan untuk menjawab pertanyaan bagaimana caraku membalas budi, yaitu dengan cara Tuhan.

Setelah memahami bahwa segala yang terjadi adalah campur tangan-Nya, aku melihat kebaikan yang diterima sebagai amunisi untuk mengolah dan menyampaikannya pada dunia. Hasil dari bantuan sang donatur pendidikan yang kini bersemayam dalam otak dan perasaan kujadikan modal untuk menyampaikan kebaikan pada orang lainnya.

Barangkali kebaikan dari sang donatur pendidikan tidak khusus Tuhan berikan padaku, melainkan pada orang yang akhirnya kubantu. Barangkali juga kebaikan yang kuberikan pada orang tak secara khusus untuk dirinya, melainkan untuk orang lainnya yang kemudian dia bantu. Terus begitu sampai kita menyadari bahwa kebaikan yang merantai tersebut juga memberikan pahala kepada orang-orang yang melakukan kebaikan sebelumnya.

Inilah mengapa, saat mulai melakukan sesuatu pada seseorang yang ia rasa aku sangat membantunya, aku tak ingin memintanya kembali memperlakukan yang sama, atau bahkan merasa perlu membalas budi. Aku bilang, “ini adalah balas budiku untuk orang yang menyekolahkanku. Kemudian kudoakan semoga apa yang aku lakukan pada dirimu juga menjadi garis pahala yang sampai pada sang donatur pendidikanku.”

Setelahnya aku selalu ingin menjalani kehidupan sebagai orang yang bermanfaat, terkhusus dari ilmu yang kupelajari di sekolah. Berharap tabungan pahala yang didapat mengalir juga padanya. Terasa pamrih kepada Tuhan, tapi biarlah, tanpa dipanjatkan pun aku yakin Tuhan Maha Mengetahui apa yang kumaksudkan.

Aku tak ingin terjebak pada lingkaran setan persoalan balas budi yang menghambat perkembangan. Biarkan segala kebaikan yang diterima menjadikan kita manusia yang senantiasa berbuat baik. Membiarkan alam semesta bekerja sebagaimana mestinya. Membiarkan diri menerima segala respons dengan lapang dada. Bukan sebagai budak kebaikan, melainkan pejuang kehidupan dengan ketenangan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dongeng di Negeri Funginesia

Ilustrasi jamur (Sumber: Krzystof Niewolny via unsplash.com) Di sebuah negeri di dunia ketiga bernama Funginesia. Pagi hari jadi hari sibuk bagi rakyat fungi (sapaan akrab kingdom lain untuk menyebut masyarakat Funginesia) dari empat distrik yaitu Zygomycota, Ascomycota, Basidmycota, dan Deuteromycota. Masing-masing rakyat di empat distrik terlihat sibuk menyiapkan hari. Menata banyak persiapan untuk bereproduksi bagi fungi dewasa, hingga mengikuti pelatihan menginang bagi fungi remaja. Ada satu program wajib Funginesia yang diterapkan untuk rakyatnya, fungi-fungi muda dididik para tetua untuk merantau di dunia pertama agar sukses menginang. Mereka yang berhasil mencapai prestasi menjadi parasit, baik obligat dan fakultatif, akan ditempatkan di jabatan pemerintahan. Mereka yang kembali sebagai saprofit akan dianggap sebagai masyarakat jelata yang umumnya bertahan hidup dengan bantuan sosial negara. “Hahhh, meresahkan sekali,” keluh Ceos, fungi muda dari Klan Mycosporium. Saat i...

Modernisasi Teh jadi Daya Tarik Pasar Sempit

Teh hijau mawar di dalam poci (Foto: penulis) Dalam legenda Kaisar Shen Nung, teh ditemukan di Cina sekitar 5000 tahun yang lalu. Asal mula teh juga dikisahkan dalam legenda India melalui cerita biarawan Bodhidharma. Kini, teh tak hanya jadi bagian dari sejarah dan budaya. Teh telah menjelma menjadi komoditas dengan hasil akhir minuman penuh kreatifitas.          Tak ada hari tanpa minum teh. Begitu demikian yang diakui Nur Winarni, wanita paruh baya berusia 54 tahun asal Jogja. Kegiatan memasak air panas dan teh tubruk Jawa berjenama Djatoet mengawali aktivitasnya di pagi hari. Jika tersedia, ia akan menikmatinya dengan beberapa potong biskuit. Jika tidak, satu gelas teh jawa bercampur satu sendok makan gula pasir tersebut tetap dinikmatinya dengan khusyuk.          “Setiap hari pasti minum teh manis panas. Kalau gak minum rasanya pusing, seperti gak punya energi,” ujarnya. Kebiasaan minum teh sudah dilak...

de Ngokow, Permata Tersembunyi di Yogyakarta

  Suasana de Ngokow yang terletak di Pendopo nDalem Pujokusuman Pendopo nDalem Pujokusuman merupakan tempat bersejarah milik Sultan Hamengkubuwono VIII. Sebuah cagar budaya yang pernah menjadi markas gerilya bangsa Indonesia kini disulap menjadi tempat nyaman untuk bercerita. Ini adalah hal unik sebab modern dan tradisional menjadi konsep yang bersatu padu. Sebuah kesatuan seimbang yang jarang ditemui pada banyak kafe. de Ngokow Coffee Roastery and Tea Club adalah pelakunya. Yogyakarta dipilih menjadi cerita ke-8 dari usaha yang lahir sejak tahun 2012. Kini, de Ngokow telah memiliki 6 cabang di 4 kota besar Indonesia dan masing-masing 1 cabang di Belanda juga Belgia. Selayaknya bisnis food and beverage lainnya, sajian seperti kopi, teh, makanan berat, hingga makanan ringan pun tersedia. Seperti V60 Levitation yang menjadi salah satu menu andalan. Kopi hitam yang teknik pembuatannya dikembangkan lagi oleh barista de Ngokow ini bahkan telah menjuarai Festival Kopi Indonesia Champ...