Aku merasa aneh belakangan ini. Membatasi komunikasi personal dengan orang lain jadi hobi baru. Segala semrawut masalah yang muncul terlalu menguras energi. Sebagai efeknya hanya beberapa orang yang kubiarkan mengetahui secuil kisah, termasuk penyebab semrawut. Ada beberapa komunikasi yang masih kulakukan. Segala macam pertanyaan mampu kujawab sebaik dan sesantun yang kubisa, kecuali pertanyaan "apa kabar?" atau "kamu baik-baik saja, Rik?" Baru kali ini aku merasa enggan menjawab pertanyaan dengan nada sejenis ini. Bukan karena aku merasa tinggi diri dan meremehkan pertanyaan orang lain, bukan. Aku tahu, mereka peduli. Hanya saja, aku membeku ketika berpikir untuk menaruh kata apa saja sebagai jawaban. Pertanyaan ini membuatku menanyakan hal yang sama pada diriku. Dan masih tak bisa kujawab.
Ilustrasi menolong (Sumber: Pixabay) Beberapa bulan yang lalu, mungkin aku masih punya pikiran panjang soal bagaimana cara membalas budi. Apakah ada cara yang efektif untuk meringankan beban hati dan pikiran dari hutang budi? Sebagai seseorang yang beruntung memiliki saudara dengan privilese tertentu, aku punya kesempatan untuk menikmati dunia yang mungkin saja tidak bisa dicapai di waktu yang sama dengan usaha sendiri. Aku mendapatkan bantuan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi. Dulu, satu dan beberapa hal mengharuskanku sedikit meredam mimpi ingin berkuliah. Persoalan ekonomi hingga kesiapan orang tua jadi alasannya. Ditambah, aku pun masih jadi anak manja berbekal BMP, Beasiswa Mama Papa. Dari permasalahan ini aku mendapat jalan lainnya. Dibiayai kuliah oleh salah seorang anggota keluarga besar dengan syarat merantau ke daerah asal sang suami di Yogyakarta. Rasanya sangat senang saat itu. Selain karena bisa merasakan kuliah, kota yang kutuju adalah Yogyakarta. Daer...