Cerpen ini mencoba untuk mengilustrasikan salah satu perangai yang dimiliki para remaja. Sebuah perlawanan terhadap mereka yang dewasa. Namun, karena terikat pada konstruksi realitas yang mengatur hubungan dengan yang lebih tua, membuat mereka liar dalam pikiran, bungkam terhadap perlawanan.
.....
![]() |
Ilustrasi: Pixabay |
"Coba kita letak baik mana kira-kira perangai mana yang paling apik dari dirimu, Dik!"
Agak kesal, belum apa-apa wajahku sudah didamprat oleh Si Kumis itu. Lalu apa? Dak, Dik, Dak, Dik, mana boleh dia punya pikir kami ini berasal dari darah yang sama.
"Kenapa sekarang kau diam?" sembari memainkan kumis 3 centinya Ia terus berceloteh kepadaku.
"Apa sih, Bang? Awak tengah tata karung ini seapik mungkin," jawabku agak ketus. Kesal karena dia hanya mengomentari watakku, dan tak berkaca apa bagus wataknya itu.
"Kau ini, sudah abang bilang kerjakan dari yang ringan. Bandel kau malah pegang-pegang yang besar itu."
Aku makin merengut. Makin menyumpah. Dia ini seenaknya menyuruh ini itu, komentar segala hal, tanpa mau membantu. Padahal tugas ini Pak Kades berikan pada kami berdua. Bukan semata-mata aku ini pekerja, lalu dia mandornya! Halah....
Aku masih mengangkut karung berisi gabah seberat 70 kg sendiri. Sekali lagi, sendiri. Si Kumis itu hanya enak saja memainkan telinga caplangnya dengan tangkai ilalang yang tumbuh di sekitar sawah ini.
"Lama kali kau ini, tinggal angkat 4 karung saja!"
Sial....
"Bang, mohon maaf kalau awak menyinggung abang. Tangan awak ni sudah gemetar, abang enak-enak saja bersantai di situ. Pak Kades beri kita tugas tuk dikerjakan bersama. Jangan mau enak abang saja honor dibagi dua, kerja tak ada."
Bisa ku lihat emosinya mulai tersulut, sorotan matanya yang kini berapi-api memblokade penglihatanku. Karung seberat 70 kg terpaksa ku turuni sebelum marah-marah tadi. Lalu tiba-tiba Ia menghampiri.
"Si Kampret!!! Berani kau denganku!!?"
Tak ku sangka ia berani menarik kaos putih yang kukenakan. Aku terpejam sejenak. Memikirkan apa yang sedang menempel di kaos hasil jeripayah emak mencuci ini. Biar kupikirkan baik-baik. Bang Oceng sebelum menghampiriku sedang tertidur-tidur ditumpukan jerami, jari tangannya memainkan kumis lalu berganti pada kuping untuk sekedar mencari harta karun...
Sial lagi, bisa dipastikan harta karun milikinya menggerayang di kaosku.
Emak! maafkan aku yang tak bisa jaga kaos cucianmu.
"HEY!!! Kau ini siapa hah? Anak buruh cuci saja sudah berani menjawab cicit orang terkaya di kampung ini."
Nafas bau Bang Oceng mengisolasi penciumanku. Pikiran lain sejenak lewat di kepala, habis makan wedus sepertinya Bang Oceng ini. Bau nian congornya..
Baru orang terkaya, masih cicit pula. Keturunan garis keempat hasil pernikahan sirih dengan selir saja bangga.
Emak! maafkan aku yang tak bisa jaga kaos cucianmu.
"HEY!!! Kau ini siapa hah? Anak buruh cuci saja sudah berani menjawab cicit orang terkaya di kampung ini."
Nafas bau Bang Oceng mengisolasi penciumanku. Pikiran lain sejenak lewat di kepala, habis makan wedus sepertinya Bang Oceng ini. Bau nian congornya..
Baru orang terkaya, masih cicit pula. Keturunan garis keempat hasil pernikahan sirih dengan selir saja bangga.
Jika salah satu anak Zeus baru kuhormati dia.
Draghhhhh
Bokongku agaknya membentur bebatuan sebab dorongannya.
Perlawanan kecil, sekali pun, malah membuat mentalku makin menciut. Aku sadar betul beda jauh umur dan kekuatanku dengan dia. Pengecut memang!
Dan yang paling menggangguku adalah, kenyataan bahwa sebagian besar perlawanan itu hanya kuucap dalam sebuah imajinasi dan kiasan lewat tulisan.
Selamatkan aku, Otak!
Komentar
Posting Komentar