![]() |
Aminah tengah memilah sampah warga Desa Poncosari (Foto: Rieka Yusuf) |
Hampir setiap hari, Aminah bergelut dengan banyak ember berisi sampah
untuk dipilah. Sampah organik dan anorganik kini jadi kawan barunya sejak
satu
bulan yang lalu, saat seseorang menawarkan pekerjaan
di BUMDes Mukti Lestari. Di usianya yang kini mencapai 59 tahun, tak banyak
pilihan yang tersedia. Tinggal di sebuah dusun kecil tanpa suami dan anak,
Aminah mulai mendedikasikan dirinya sebagai srikandi Mukti Lestari bersama Riefkiana Saputri dan Niken
Andriyani.
Pukul 8.45 pagi, Aminah bergegas mengunjungi Tempat Pemilahan Sampah
Badan Usaha Milik Desa Mukti Lestari di Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul. Meski letak tempat tersebut
hanya 300 meter dari rumahnya, Ia memilih bersepeda. Jalanan sepanjang 100 meter di
tengah-tengah sawah kerap kali menyulitkan tatkala tanah melunak akibat air
hujan. Jika sudah demikian, Aminah harus lebih waspada memilih jalan yang
tertumpuk jerami agar tak membuat ban sepeda tuanya terjebak di tanah.
Bangunan seluas 300 meter di tengah-tengah sawah itu adalah tempat
kerjanya saat ini. BUMDes Mukti Lestari memiliki 3 sub program, namun saat ini
tengah fokus dalam sub unit pengelolaan sampah bernama Konco Pilah. Dahulu,
Aminah kerap kali mencoba peruntungan bekerja sebagai pengasuh. Bahkan di 2010,
ia pernah mencoba menjadi perantau di Kota Depok Provinsi Jawa Barat, namun harus berhenti
karena kesulitan akses transportasi untuk kembali. Kini pekerjaannya adalah
memilah sampah, lalu memproses sampah-sampah tersebut pada tahap pengelolaan
kembali, seperti sampah organik yang dijadikan pupuk kompos.
Tangan keriputnya kerap kali tergores benda tajam hasil buangan warga
pada ember yang difasilitasi BUMDes. Dibekali sarung tangan lateks dengan penutup wajah (masker) dari
kain tak menjamin pekerjaannya berlangsung aman. Tiap harinya pengumpul sampah membawa 9 hingga 12 ember cat tembok berukuran besar, Ia siap sedia
duduk di ember kosong yang diputar 180 derajat. Setelah sampah di
berbagai ember disemprot parfum, dengan harapan sedikit mengurangi bau menyengat, Aminah kemudian
dengan cekatan membagi sampah-sampah tersebut sesuai jenisnya.
Jika sudah pukul 12 siang, ia diizinkan pulang untuk makan siang, lalu
kembali lagi ke BUMDes Mukti Lestari dan menyelesaikan pekerjaannya. Hal yang disukuri Aminah sebagai
pemilah sampah adalah, ia memiliki waktu luang untuk beristirahat,
"Biasanya selesai jam 2 atau 3
sore. Habis itu pulang bisa istirahat. Waktu jadi pengasuh (di desa) kan gak bisa, berangkat
pagi jam 6, selesai bisa jam 11 malam, begitu terus," ujarnya. Aminah
memang sudah terlalu berumur,
sehingga pilihan yang dimiliki cukup terbatas. Tinggal bersama 2 adik dengan 2
keponakan membuatnya harus tetap bekerja, paling tidak untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri.
Berbeda dengan Aminah, Niken Andriyani punya banyak pilihan untuk
karir. Keinginan mulianya untuk berguna bagi masyarakat turut
membawanya menjadi pengurus di BUMDes Mukti Lestari. Sebelumnya, wanita yang baru lulus kuliah pada
Juli tahun lalu ini sempat mengikuti program Pelatihan Kerja Lapangan di salah
satu rumah sakit. Tawaran untuk menjadi pekerja tetap didapatkannya dari
seorang senior saat PKL, “Waktu itu ditawarin, bahkan dua kali dipanggil kerja
di (rumah sakit) sana. Tapi, aku juga sudah terlanjur mendaftar di BUMDes,
mungkin memang takdir dari yang di atas buat aku di sini.”
Perempuan berusia 23 tahun ini
mulanya mengira lamaran sebagai sekretaris di BUMDes Mukti Lestari berkaitan
dengan kegiatan arsip dan pendataan. Namun ternyata, memutuskan menjadi
pengurus di tempat tersebut juga sama dengan menyediakan diri sebagai srikandi
pemilah sampah. “Sekarang gak menyesal, lebih mengikuti alur saja. Lagi
pula saya senang bisa berbaur dan mengedukasi masyarakat. Walaupun di apotek
juga bisa (berbaur), tapi di sini pembahasannya beragam dan keterlibatannya
mendalam,” jelas wanita lulusan Akademi Manajemen Administrasi
Yogyakarta tersebut. Penolakan
sempat disampaikan oleh orang tua yang menganggap bekerja di rumah sakit lebih
membanggakan. Namun, hal tersebut tidak mengubah niatnya untuk berada di BUMDes
Mukti Lestari.
Meski kini berkutat dengan
sampah, ilmu yang dipelajari Niken di bangku perkuliahan juga turut bermanfaat.
Di Srandakan terdapat 2 tempat praktek dokter yang turut mengirim limbahnya ke
Mukti Lestari. Limbah jarum suntik atau infus seringkali ditemukan. Pada momen
seperti ini, pemilah sampah yang lain akan bertanya bagaimana seharusnya limbah
tersebut dibuang dengan aman. “Seringnya itu jarum suntik. Biasanya jarum itu
dibuang dengan tutupnya, namun secara terpisah. Nah, itu mesti ditutup dulu
jarumnya, lalu dibundel dengan plastik kresek,” jelasnya.
Tak hanya Aminah dan Niken,
satu perempuan lagi yang berada di BUMDes Mukti Lestari adalah Riefkiana
Saputri. Wanita berumur 30 tahun
tersebut memiliki jabatan bendahara sejak disahkannya kepengurusan baru BUMDes
Mukti Lestari pada Agustus 2019. Bagi Ana, panggilan akrabnya, tantangan
mengedukasi masyarakat tentang sampah adalah motivasinya. Banyak dari warga
memiliki lahan yang luas dan sering kali memanfaatkannya untuk membuat lubang
atau jegangan untuk membakar sampah, “Plastik yang dibakar itu kan
mengeluarkan senyawa dioksin pemicu kanker, tentu ini akan sangat berbahaya
buat mereka,” jelasnya.
Sampah tak melulu perihal
sesuatu yang tidak lagi digunakan. Ana meyakini pemanfaatan sampah bisa
memberikan nilai ekonomis yang juga berguna bagi sekitar. Setidaknya ada 2
pengelolaan sampah yang menguntungkan. Pertama, pemilahan sampah anorganik bisa
dijual kembali dan menghasilkan pundi-pundi uang, “Misalnya koran, botol, tutup
botol besi, dan sebagainya. Itu kalau satu memang tidak berguna, tapi kalau
dikumpulkan bisa menghasilkan keuntungan. Salah satunya adalah kertas arsip
atau HVS itu perkilonya bisa dihargai delapan belas ribu.” Kedua, sampah
organik seperti batang kangkung atau tumbuhan lain bisa dimanfaatkan menjadi
pupuk cair. Sedangkan sampah sisa makanan dan sebagainya digunakan untuk
pembuatan pupuk kompos.
Baik Aminah, Niken, Ana,
maupun 4 pria yang terdaftar dalam kepengurusan BUMDes Mukti Lestari tidak ada
yang memiliki latar belakang keilmuan lingkungan atau pengelolaan sampah. “Kami
semua di sini saling belajar, tidak ada guru ataupun yang digurui,” jelas Ana.
Senasib dengan Niken, Ana memiliki latar belakang pendidikan teknik
informatika, sangat jauh kaitannya dengan bidang yang ia tekuni saat ini. Meski
demikian, Ana telah menentukan nasibnya untuk menjadi Srikandi Pemilah Sampah
BUMDes Mukti Lestari.
Wanita dan Pilihannya
Berada pada sedikit atau
banyak pilihan membuat para wanita seringkali dilema. Konstruksi sosial yang
selalu menempatkan kaum wanita setingkat di bawah laki-laki seringkali menjadi
alasan perempuan tidak bisa leluasa memilih. Konformitas masyarakat cenderung
meletakan perempuan pada sebuah pilihan kewajiban dibanding hal yang diminati.
Bagi Aminah menjadi mungkin
hanya memilih kesempatan, mengingat umur serta kemampuan yang tak lagi selapang
dulu. Namun bagi srikandi masa kini seperti Niken dan Ana mengikuti kata hati
untuk bermanfaat langsung bagi masyarakat dibanding menekuni pekerjaan yang sesuai
pendidikannya, adalah keputusan besar dalam menentukan jalan hidup.
Jika dikaitkan dengan
kondisi Indonesia pada umumnya, Niken dan Ana adalah cerminan dari data yang
dilansir oleh Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak tahun 2019 tentang
indikator ketenagakerjaan menurut jenis kelamin. Faktanya tingkat pertisipasi
angkatan kerja perempuan di Indonesia meningkat 1,57 % sejak 10 tahun terakhir
(2008 – 2018). Selain itu, perkembangan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG)
2010-2018 juga meningkat 0,36 poin yakni pada level 72,10. Angka ini dihasilkan
dari beberapa komponen misalnya presentasi perempuan sebagai tenaga
professional dan sumbangan pendapatan perempuan.
Keberadaan lingkungan serta
keluarga yang terkadang menekan mereka untuk memilik nasib yang dianggap jauh
lebih baik, adalah hambatan bagi sebagian orang khususnya perempuan untuk
berdiri di kaki sendiri. Akhir 2019 lalu, satu suara terkait hal sejenis
terwakili oleh pernyataan Najwa Shihab saat menjawab pertanyaan dari seorang
komedian.
Pada acara yang ditayangkan di
salah satu stasiun TV swasta tersebut tersebut Denny Cagur menanyakan kepada Najwa
tentang pilihan menjadi seorang jurnalis atau ibu rumah tangga. Putri kedua
Quraish Shihab ini menanggapi pertanyaan tersebut dengan kritis, “Kenapa
perempuan harus disuruh memilih? Bukankah kita bisa mendapatkan keduanya?
Pertanyaan itu seolah-olah membuat perempuan tak berdaya,” ujarnya.
Jawaban yang lebih tepatnya
pertanyaan lanjutan ini lantas membuat Denny Cagur tersenyum kikuk. Entah untuk
satu, dua, hingga berpuluh-puluh pilihan yang ditujukan kepada seorang
perempuan, sejatinya mereka berhak menentukan sendiri. Hal ini turut disetujui
oleh I Made Andi Arsana, seorang dosen di Teknik Geodesi Universitas Gadjah
Mada.
Pengalaman sang istri, Ketut
Asti, yang menempuh pendidikan kedokteran hingga S2 namun berakhir menekuni
bisnis ecoprint adalah alasannya. “Melalui karya yang lahir dari
tangan Asti, saya merasakan kegigihan dan kesabaran untuk bertahan dari
berbagai kritik (terhadap
pilihannya). Jika ada satu hal kecil yang bisa saya lakukan, maka itu
adalah menghormati keputusannya,”
tulis Andi di situs pribadinya, Madeandi’s Life
Dalam tulisan yang sama, Andi juga berpendapat
bahwa pendidikan formal memang tidak pernah sia-sia, namun tidak semestinya seseorang
membiarkan pendidikan formal tersebut mendikte kehidupannya. Bagi Niken, bukan
kewajibannya untuk menjadi apoteker karena pernah kuliah di jurusan manajemen
farmasi. Demikian Ana, mengenyam pendidikan teknik informatika tak membuatnya
terpaku pada profesi yang berkutat dengan aktifitas di depan komputer.
Ketiganya merupakan Srikandi saat
ini. Bukan seperti yang digambarkan pada tokoh pewayangan sebagai sosok
pemanah, melainkan pemilah sampah. Para
perempuan kini mencoba hidup mandiri dengan bekerja atau berwirausaha, tak lagi
bergantung pada pendapatan orang tua ataupun pasangan. Melalui angka partisipan
pekerja wanita yang meningkat selama 10 tahun terakhir juga membuktikan bahwa
kini wanita memiliki kendali
atas hidupnya sendiri. (Rieka Yusuf)
Komentar
Posting Komentar